Indonesia berada diambang kehancuran. Jumlah penduduk miskin di Indonesia hingga tahun 2002 mencapai 38,4 juta orang. Hutan Indonesia rusak seluas 3,8 juta hektar setiap tahunnya di tahun 1998 hingga 2000, dan semakin meningkat di tahun berikutnya. Pulau Jawa sejak tahun 1995 telah mengalami defisit air sebanyak 32,3 miliar meter kubik setiap tahunnya. Sejak tahun 1998 hingga 2003, telah lebih dari 650 kejadian bencana di Indonesia yang menewaskan lebih dari 2.500 jiwa dan kerugian materil lebih dari 300 miliar rupiah, dimana 85% diantaranya adalah bencana banjir dan longsor akibat kerusakan lingkungan hidup.
Kepulauan Indonesia mengalami perubahan kondisi lingkungan hidup dan ekosistem yang sangat cepat dan masif. Pola pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pengurasan sumberdaya alam dan mengabaikan faktor kelestarian ekosistem mengakibatkan perubahan bentang alam dalam skala yang tak kalah masifnya. Setiap tahunnya, Indonesia kehilangan 3,8 juta hektar hutan alam akibat penebangan yang merusak, yang dilakukan baik secara legal maupun illegal. Kerusakan lingkungan hidup dan ekosistem mengakibatkan peningkatan kerentanan wilayah-wilayah yang secara natural -dikarenakan kondisi geografis Indonesia seperti tersebut di atas- memang memiliki potensi untuk mengalami bencana. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia, dimana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor.
Sementara itu, 35% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersedot untuk pembayaran cicilan utang luar negeri yang sudah mencapai US$ 75,18 miliar. Dan lebih dari 30% utang tersebut dikorupsi oleh rezim yang berkuasa di Indonesia sejak jaman Soeharto.
Dan semakin tahun, di Indonesia semakin banyak terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia [HAM] rakyat yang dilakukan oleh perusahaan, aparat pemerintah maupun aparat keamanan di Indonesia. Pada tahun 2003, terdapat lebih dari 500 kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada 23 propinsi di Indonesia. Dan semasa rezim orde baru, Konsorsium Pembaharuan Agraria mencatat telah terjadi 1.679 kasus sengketa dan konflik agraria yang bersifat struktural dan mengakibatkan 227.316 keluarga menjadi korban. Sedangkan Raca Institute mencatat telah terjadi 175 konflik antara rakyat dengan perusahaan perkebunan besar di 9 propinsi di Sumatera dan Jawa dengan korban lebih dari 771.894 orang.
Pulau Jawa yang luasnya 13.404.500 hektar tengah menantikan kematiannya. Kondisi lingkungan dan hutan di Jawa tinggal 4% dari luas pulau Jawa sudah sangat jauh di bawah tingkat 30% yang dikatakan sebagai titik keamanan minimum yang harus dipertahankan untuk melestarikan sumber-sumber air dan mencegah erosi. Kerusakan lingkungan di Jawa dilihat dari tutupan vegetasinya hampir semua puncak-puncak gunung sudah tidak bervegetasi lagi, hanya pada puncak-puncak gunung tertentu yang memperlihatkan kondisi tutupan vegetasinya masih cukup baik. Sebagian besar hutan ditebangi untuk kebun kayu dan pertanian, bahkan dilereng-lereng terjal tutupannya sudah berubah menjadi bangunan beton.
Sementara berdasarkan Badan Planologi Departemen Kehutanan, lahan kritis di Jawa saat ini diperkirakan sudah mencapai 2.481.208 hektar dan penutupan lahan oleh pohon tinggal 4 %. Pada abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18, hutan alam di Jawa diperkirakan masih sekitar 9 juta hektar. Sedangkan pada akhir tahun 1980-an, tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta hektar atau 7 persen dari luas total Pulau Jawa.
Kawasan hutan negara di Jawa dan Madura sekitar 2,9 juta ha yang hampir secara keseluruhan dikuasai oleh Perhutani seluas 2.556.145 hektar, kecuali kawasan hutan Suaka Alam, Taman Nasional, dan Hutan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta serta Daerah Istimewa Yogyakarta. Pulau Jawa dengan penduduk berjumlah 127.217.819 jiwa terdapat tidak kurang dari 6.324 desa dalam 936 kecamatan di 84 kabupaten berada di dalam maupun sekitar hutan, yang selama ini masih dipinggirkan dalam pengelolaan hutan.
Munculnya berbagai kasus lingkungan yang bersumber dari kerusakan kawasan hutan di Jawa, akan langsung tertuju pada Perhutani yang memonopoli penguasaan dan pengelolaan sebagian besar hutan di Jawa. Dalam mengelola hutan di Jawa selama ini, Perhutani telah gagal, baik dari sisi ekonomi, lingkungan, maupun sosial. Pengelolaan hutan di Jawa yang dikuasai Perhutani, ternyata tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dari segi pengelolaan hutan, Perhutani sudah dianggap gagal, dampaknya terlihat pada ketersediaan air tanah yang sangat menurun di dataran rendah dan daerah lereng yang rentan terhadap longsor. Perhutani juga melanggar ketentuan ekologis, dengan mengubah hutan alam menjadi hutan monokultur, dalam hal ini hutan pinus -untuk kemudian ditebang- di daerah lereng terjal.
Selama ini pengelolaan yang dilakukan Perhutani berorientasi pada kayu. Adapun ekosistem lingkungan dan sosial tidak pernah diperhitungkan. Padahal, nilai kayu hanya mencapai 7 persen dari nilai total ekosistem hutan. Mengabaikan nilai ekosistem yang besar dari sebuah kawasan hutan itulah yang mengakibatkan terjadinya krisis ekologi dan sosial.
Pengelolaan hutan Jawa, yang dilakukan perusahaan milik pemerintah ini juga sarat masalah KKN [kolusi, korupsi, nepotisme], sosial, dan pelanggaran HAM [perampasan tanah, kasus penindasan, intimidasi], serta secara institusi punya kewenangan yang tidak terbatas.
Masalah-masalah lingkungan hidup, seperti gejala banjir yang diikuti oleh kegagalan panen akibat kekeringan, kadar endapan erosi di sungai-sungai terus meningkat dengan laju yang menakutkan, serta pengaruhnya pada mutu air yang sangat buruk.
Sejarah banjir di Jawa dari dahulu sampai sekarang penyebabnya sama, yaitu terjadi penyumbatan oleh kotoran jaringan saluran air dan penggundulan hutan di daerah hulu. Penggundulan hutan bukan saja telah membinasakan hutan sebagai daerah resapan air, tetapi juga membawa lumpur Jawa dan limbah pabrik yang sangat beracun yang menumpuk disepanjang jaringan saluran, terutama di kota-kota besar di Jawa. Banyaknya industri dan pabrik terbangun yang mengambil lokasi di sekitar aliran sungai serta membuang langsung limbahnya ke sungai mengakibatkan lingkungan di sepanjang pantai utara, yaitu mulai dari Merak hingga Banyuwangi, kondisinya sudah tercemar. Nelayan diperairan laut Jawa semakin sulit dan kondisi lingkungan laut semakin kotor, serta terjadi pengendapan lumpur di sungai-sungai dan waduk. Hal ini tidak mengherankan karena kondisi DAS utama di Jawa sudah sangat kritis, dibagian hulu yang semula merupakan tanah-tanah subur sudah hanyut terbawa oleh aliran sungai.
Beberapa DAS di Jawa yang sudah kritis dan yang selalu menimbulkan banjir periodik, baik yang bermuara ke pantai utara maupun pantai selatan, diantaranya (Jawa Barat): DAS Ciliwung, Citarum, Cimanuk, Citanduy, Cipunegara dan Ciujung. (Jawa Tengah): DAS Garang, Bodri, Bengawan Solo dan Serayu. (Jogyakarta): DAS Bribin. (Jawa Timur): DAS Grindulu, Pasiraman, Rejoso, Brantas, Sampean dan Saroka. Banjir di Pulau Jawa mayoritas terjadi di lokasi-lokasi yang sangat rawan karena kondisi lingkungan Hidup yang sudah sangat parah, misalnya banjir di Jakarta terjadi di sepanjang Daerah Aliran Sungai Ciliwung dan lokai-lokasi timbunan rawa seperti Tambora, Cempaka Putih dan lainnya.
Kondisi Jakarta tidak jauh berbeda dengan berbagai daerah lainnya di Pulau Jawa seperti Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Selain di daerah aliran sungai dan rawa-rawa banjir juga disebabkan karena hutan di daerah hulu yang sudah gundul. Meski demikian dari tahun ke tahun banjir ini selalu menimbulkan korban, karena tidak adanya kepedulian pemerintah akan kondisi yang sangat rentan tersebut. Padahal kondisi tersebut sangat mungkin untuk diantisipasi.
Habis banjir terbitlah kekeringan mungkin adalah pepatah yang tepat untuk menggambarkan kondisi Indonesia. Musim kemarau ini hampir seluruh Pulau Jawa dilanda kekeringan. Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta adalah daerah terparah yang menderita kekeringan di tahun 2003. Bencana kekeringan ini hampir setiap tahun terjadi, namun tahun ini adalah kekeringan terpanjang dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
Bencana kekeringan adalah bencana yang sangat ditakutkan petani, seperti juga bencana banjir. Hal ini terjadi karena penerima dampak terbesar, yaitu masyarakat, tidak bisa mengontrol dan mengendalikan dampak kekeringan yang terjadi. Dampak yang paling terasa adalah pada rawan pangan, akibat banyaknya sawah yang puso dan gagal panen; dan juga krisis kekurangan air bersih untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Hal ini berakibat langsung pada rasa keamanan manusia (human security) dan kedaulatan pangan rakyat.
Dampak yang terjadi bukan hanya rawan pangan karena tidak adanya panen, namun krisis air bersih kemudian juga melanda berbagai wilayah. Banyaknya Daerah Aliran Sungai yang kering menyebabkan sektor pertanian dan air bersih untuk minum sulit didapatkan. Sumber air mati, bahkan PDAM yang mengharuskan rakyat untuk bayar-pun tak kuasa melawan bencana ini. Banyak PDAM yang mulai kehabisan air. Hal ini terjadi di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa timur.
Kompleksitas permasalahan ekologi yang terjadi di pulau Jawa telah mengantarkan pulau Jawa kepada ruang kematian bagi makhluk yang hidup di atasnya. Dan bukan tidak mungkin pulau Jawa akan tenggelam dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi.
0 Komentar